Oleh Najlah Naqiyah
Duta Masyarakat 2005,
Ahmadiyah aliran baru yang sedang diperdebatkan keberadaannya di Indonesia. Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) resmi mengeluarkan pelarangan ajaran Ahmadiyah, dengan alasan bahwa kelompok tersebut membawa orang menjadi murtaddin (keluar dari ajaran agama). Murtad karena keyakinan mereka akan munculnya nabi baru. Walaupun telah didakwa sebagai aliran sesat, bagaimana dengan kelompok mereka yang telah mencapai ribuan orang dan berdiri cabang-cabang di perkotaan?
Hiruk pikuk ajaran Ahmadiyah yang difatwa sesat tersebut bukanlah hal aneh di negeri Indonesia. Banyak aliran-aliran yang dilarang, namun tetap subur di negeri ini. Bagaimana menyikapi kelompok-kelompok marginal tersebut secara bijak? Inilah yang perlu diagendakan bagi keberlangsungan keragaman negeri yang berbeda-beda agama, ras, suku, dan pulau.
MUI melakukan larangan secara resmi peredaran kelompok Ahmadiyah. Tujuan MUI untuk menjaga kedamaian. Tapi apa yang terjadi? Alih-alih kedamaian itu tercermin, justru terjadi pengrusakan dan pembantaian oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab kepada anggota kelompok Ahmadiyah. Pengrusakan pemondokan, kantor serta masjid Ahmadiyah, merupakan bentuk dari kekerasan yang mencederai proses pluralisme agama. Semestinya, perbedaan ajaran apapun, diselesaikan dengan membuka ruang dialog dan pengertian diantara masyarakat. Sehingga menjadi jelas segala pertanyaan yang tersembunyi tentang apa aliran Ahmadiyah; bagaimana aliran Ahmadiyah diterima oleh kelompoknya; apa yang dikerjakan oleh Ahmadiyah sehingga berhasil merekrut jama’ah secara cepat; Mengapa Ahmadiyah dilarang oleh MUI? Pertanyaan lain, bagimana pluralisme Indonesia akan dikembangkan? Bagaimana sikap tokoh agamawan menghadapi munculnya aliran-aliran baru yang berbeda dengan alirannya?
Bagi tokoh agama seperti Gus Dur menolak fatwa MUI atas larangan terhadap aliran Ahmadiyah. Sikap Gus Dur tersebut dilakukan bersama para tokoh lintas agama yang risau dengan segala pengrusakan, pembantaian yang membawa kekerasan. Korban yang ditimbulkan dari fatwa tersebut mengkhawatirkan terjadinya aksi anarki dengan membakar dan membumi hanguskan kelompok Ahmadiyah. Pertengkaran dan permusuhan justru membawa konflik dalam ummat Islam khususnya, dan ummat agama lain umumnya. Gus Dur berharap, masyarakatlah yang akhirnya akan menilai dan memutuskan, apakah mereka akan ikut dengan aliran Ahmadiyah atau menolaknya.
Sikap pro dan kontra membawa dampak sosial bagi kelangsungan pluralisme agama. Kini, fatwa itu telah dihembuskan dan disebar luaskan dimedia elektronik maupun cetak. Bagaimana masyarakat bersikap? Ada dua konsekwensi sikap masyarakat, Pertama, bagi masyarakat yang menerima dan membiarkan aliran Ahamadiyah hadir memperkaya pluralisme maka, mereka cenderung tidak perduli dengan apa yang dihimbaukan oleh MUI. Mereka terkesan cuek dan tidak memikirkan. Mereka tenang dengan bermunculannya kelompok baru seperti cabang Ahmadiyah diperkotaan.
Kedua, Bagi masyarakat yang menolak Ahmadiyah secara sosial ada dua hal. Mereka mereaksi secara keras dan lunak. Bagi mereka yang mereaksi secara keras, akan menggunakan cara-cara pemaksaan untuk menutup kelompok Ahmadiyah dengan cara apapun, misalnya pembakaran pondok, kantor dan rumah-rumah kelompok Ahmadiyah. Jika ini yang dilakukan, tentu ongkos yang harus dibayar mahal sekali, konflik berkepanjangan dan makin pudarnya pluralisme di Indonesia. Sebab kekerasan yang dilakukan dengan cara-cara jalanan merugikan orang-orang yang belum tentu bersalah secara hukum. Sedangkan bagi mereka yang menolak secara lunak, mereka menutup diri dari akses aliran Ahmadiyah. Tipe masyarakat yang semacam ini dialami oleh kelompok-kelompok awam yang khawatir terpengaruh oleh Ahmadiyah. Mereka tidak melakukan reaksi menentang secara kasat mata, namun gerakan mereka eksklusif dan tidak mau berdialog dengan orang-orang dari kubu Ahmadiyah.
Menyimak keragaman sikap terhadap aliran Ahmadiyah, maka mungkin saja sikap serupa ini timbul seiring maraknya kelompok-kelompok kecil militan yang mempengaruhi masyarakat. Sebuah keniscayaan muncul diabad modern, adalah kebebasan aliran apapun berkembang lintas negara. Seiring langkah globalisasi, menjamur aliran-aliran baru dari jaringan bisa diakses lintas batas desa atau kota serta negara. Jangankan aliran Ahmadiyah, atheispun mungkin saja hidup dan berpeluang mempengaruhi masyarakat seiring dengan bebasnya informasi. Untuk itu, pertanyaan yang perlu dijawab bersama oleh kita, adalah bagaimana mencermati aliran baru yang berkembang?
Cara yang dilakukan seiring menjamurnya aliran-aliran baru ialah positive thinking (berpikir positif) dengan memandang perbedaan adalah rahmat dari Allah SWT. Dengan berpikir positif akan membuat kita membuka diri terhadap perbedaan.
Kedua, Sikap terbuka akan mengembang rasa dialog dan sikap pengertian serta toleransi antara sesama ummat. Sikap terbuka dilakukan dengan banyak mendengarkan maksud dari aliran tersebut. Setelah mendengarkan secara kritis maka kita memperoleh pengetahuan untuk belajar. Dengan mengetahui ajaran tersebut akan membuat kita lebih mampu mengendalikan diri dan bersikap empatik. Pengetahuan sifatnya selalu ada dua hal, bias jadi pengetahuan itu untuk dicontoh atau untuk tidak dicontoh. Dengan mengetahui aliran baru, tentu kita bisa mengambil pelajaran.
Ketiga, Sebanyak mungkin menyerap informasi untuk membuat keputusan dan memberikan penilaian, apakah aliran tersebut baik atau buruk. Kalau kita mau jujur, siapa yang berhak membuat keputusan akan kebenaran suatu ajaran ? Jika ditelaah secara jernih, pada akhirnya diri sendirilah yang membuat keputusan apakah aliran tersebut sesuai dengan kita atau tidak. Jika aliran tersebut dinilai menyesatkan, maka dengan sikap elegan, kita berkata “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Dengan bersikap tegas dan tidak ikut campur, kita menjadi lebih kuat menghadapi perubahan yang selalu baru dan menuntut kita menentukan sikap secara bijaksana.
Akhirnya, pro kontra aliran Ahmadiyah sejatinya membuat kita semakin bijaksana dan belajar untuk meneguhkan sikap toleransi. Secara ideal, semestinya perbedaan menambah kedewasaan dengan saling berdialog dan menerima perbedaan secara damai. Menyelesaikan dengan cara kekerasan menghadapi perbedaan hanya akan menimbulkan kekerasan yang terus terulang. Semoga kita mampu belajar bahwa menyelesaikan dengan cara jalanan akan membuat pluralisme di negeri ini tertutup kabut hitam.
Sumber: Duta Masyarakat
0 Tanggapan:
Posting Komentar